Mau mulai
dari mana dulu ya? Yang jelas pengalaman kemarin adalah pengalaman yang paling
seru dalam berpetualang. Kalau berbicara tentang petualang sebenarnya sih, aku
sudah sering berpetualang. Berpetualang sendiri ke kota orang tanpa ada teman dan
tak tau arah atau keadaan kota tersebut. Aku juga pernah camping, hidup
di hutan walaupun itu osjur (hehhee).
Tapi untuk kali ini saya akan bercerita petualangan saya dan teman-teman
yang kusayangi karenaNya.
The Fourth Experience
Dan pada akhirnya,akhirnya akhirnya dan akhirnya sampai tak berujung akhirnya, setelah lama melakukan perjalanan, muncul lampu-lampu kecil. Alhamdulillah ada sedikit cahaya. Menemukan cahaya itu seperti menemukan hidayah. “Habis gelap terbitlah terang,” begitulah analoginya. Kami semakin semangat menancap gas kekuatan kami. Tujaun kami semakin dekat. Sebentar lagi kita akan melihat keindahan alamNya.
The Fifth Experience
Sholat shubuh menambah kekuatan kami untuk melajutkan perjalanan. Hari sudah mulai pagi, mataharisudah mulai terbangun. Pemandangan dan keindahan terus menghiasi pagi itu. Ya seperti biasa, cahaya kamrea juga ikut bersaing dengan cahaya matahari untuk menngkap keindahan fenomena alam. Puncak. Dan yey, sebentar lagi kita akan sampai puncak dan sumber asap petunjuk arah kami. Yap hanya membutuhkan bebrapa langkah lagi. Kami akan sampai puncak Gunung Bromo.
Pada
awalnya saya mengira perjalanan ini adalah perjalanan biasa, ya seperti
perjalanan-perjalan camping saya kemarin. Perjalanan ke lautan pasir bersama
teman-teman FLP Malang. Kami sudah merencanakannya dari jauh-jauh hari. Karena
yang berhalangan hadir, jadi hanya 8 orang yang bisa ikut perjalanan itu. 6 cewek dan 2 cowok. Sempat kami berenam dan
itu cewek semua mau berangkat sendiri, karena ternyata dari teman laki-laki
kita ada yang mendadak sakit. Ntahlah kok bisa mendadak sakit, mungkin udah
takut duluan kali ya,,sama kita berenam. Takut dikeroyok. Otomatis teman yang
satunya juga ragu-ragu mau ikut atau tidak.
Berangkat? Gak? Berangkat? Gak?...okelah langsung saja kami menawarkan
kebeberapa teman kami dan itupun tidak ada yang bisa. Tak lama kami galau
dengan perjalanan itu akhirnya kabar baikpun masuk ke salah satu hape teman
kami. Akhirnya, akhirnya dan aaakhirnyaaaa jadi ikut juga mereka.
The
First Experience
Di
perjalanan menggapai misi tersebut, seharusnya bisa ditempuh kira-kira 2 jam. Karena
malam itu adalah malam minggu, jalanan macet. Macet bukan karena ada si komo lewat,
bukan karena ada kereta api dan lampu merah. Macet karena ada sekumpulan anak
muda (cewek dan cowok) dengan berbagai atribut gaul meraka. Tidak hanya anak
muda, anak kecil yang seharusnya mendapat pendidikan lebih tenang moral,
akhlak, dan sopan santun juga ikut terlihat nimbrung di sana. Duduk-duduk di
pinggir jalan, terlihat mereka berkumpul tak tau apa yang mereka bicarakan. Ada
yang duduk-duduk di pembatas jalan tengah. Ada juga yang sekedar duduk sambil
melihat peredaran arus lalu lintas.
Pemandangan itu terlihat sangat panjang. Panjang di tepi jalan. Fenomena malam yang mengagumkan. Dan saya sebut
itu adalah keagungan Tuhan. Tuhan menciptakan makhluknya dengan berbagai sifat
dan keadaan yang berbeda agar kita bisa mengambil hikmah dari semua itu. Masa meraka sangat banyak. bisa dibilang
pengkaderan mereka sukses besar. Tidak tau bagaimana trik mereka. Kalau trik
mereka bagus, mungkin bisa dicontohlah bagaimana mereka bisa merekrut anggota.
Dan membuat anggotanya betah berkumpul dengan mereka. perjalanan terus berlanjut hingga saya tidak
tau ada apa saja di setiap perjalanan tersebut. Hingga sampailah di jalan yang
berputar-putar dan ada jurang di kanan-kiri jalan kami.
The Second
Experience
Katanya
sih tempat itu dingin, sampai-sampai kita harus membawa perbekalan, syal,
jaket, dan kaos tangan. Tapi bagi saya masih saja gerah, panas. Susana di dalam
mobil yang membawa kami ketempat misi kami sangat panas. Jadi walaupun sudah
sampai ditempat tujuan, masih saja berkeringat. Baru merasakan bahwa keadaan
daerahitu dingin setalah keluar dari mobil dan mencicipi air kamar mandi. Rasa panas itu seakan-akan hilang. Berganti
rasa dingin yang mencekam. Tangan, kaki, berubah dingin dan mati rasa. Terlihat juga di sana, banyak penjual
yang menawarkan syal, kaos tangan dan topi pelindung terlinga. Untuk yang berjilbab, mungkin topi itu tidak
begitu bermanfaat. Tapi manurut saya, untuk teman-teamn yang masih terlihat daun
telinganya, topi itu sangat bermanfaat sebagai pelingdung telinga. Saya pernah baca novel, kenapa orang-orang
yang hidup di daerah subtropis memakai penutup kepala atau penutup telinga.
Mereka melakukan itu untuk menghangatkan badan dan mengamankan telinga mereka.
Di daerah subtropis jika musim salju datang , suhu bisa mencapai di bawah nol
derajat. Jadi mereka sangat berjaga-jaga agar telinga mereka tidak membeku.
The
Third Experience
Perjalanan
teletubbis menyusuri lautan pasir. Aneh bukan?. Biasanya kan teletubbis berada
dibukit-bukit hijau. Tapi ini lain, gerombolan teletubbis menyusuri lautan pasir.
Tak tau arah. Tak ada kompas, ataupun guide. Hanya mengandalkan dua sumber
cahaya redup dari senter HP. Mungkin ada sebagian yang bertanya, kok ada
teleubiis nyasar ke lautan pasir? Pada ngapain disana? Apa mereka gak syuting
untuk acara besok? Apa mereka gak membuat puding tabi untuk perbekalan syuting
mereka?. Yang jelas teletubbis yang menyusuri lautan pasir ini adalah
teletubbis dengan berbagai macam karakter sekaligus berbagai macam keunikan
mereka. Yach, kami menyebutkan teletubbies karena memang mirip teletubbies.
Gerombolah kami memakai atribut pengaman rasa dingin,jika dilihat dari belakang
mirip dengan teletubbies:D
The Fourth Experience
Pasukan
teletubbies masih saja nekat melanjutkanperjalanan dengan ditemani dua
bodyguardnya. Ntah apa jadinya jika pasukan teletubbies tanpa dua bodyguard
itu. Ya walaupun para bodyguard itu juga tak tau keadaan medan dan arah daerah tersebut.
Paling gak, mengurangi rasa takutlah. Semakin lama jalanan gelap itu semakin
turun. “Seharusnya kan naik gunung, tapi ini kok malah turun gunung? Gak salah
arah nih?,” celetuk salah satu personil rombongan kami. Terlihat di seberang
jalan sana, ada sosok mematung, dan berdiam diri di tep jalan. Tiba-tiba sosok itu
mengikuti perjalanan rombongan kami. Wah, ternyata setalah banyak cerita di
sepanjang perjalanan, orang itu juga tersesat. Ya sudahlah kita berpetualang
bersama. Walaupun sebenarnya kita semua masih ragu-ragu dengan langkah yang
kami ambil. Kami sangat hati-hati walaupun imaginasi kita terus berkembang.
Kami sempat berfikir di arah yang kita tuju, ada laut, ada pasir hisap, lumpur
hisap seperti di film-film. Kita sempat merangkak, dan berjalan sangat pelan
ketika menemui sebuah gundukan, atau tebing. Rasanya perjalanan malam itu
sangat terjal. “Ya Tuhan, belum naik gunung saja jalanan suddah seterjal ini.
Bagaimana naik gunungnya nanti??”. Kami juga
sempat berfikir untuk berhenti, dan menunggu pagi ditempat itu. Tapi demi
sebuah misi, yaitu misi melihat keindahan ciptaan Tuhan “Sunrise” kami
siap menghadapi halangan rintangan yang ada di depan kita. Hanya satu petunjuk kami
yaitu asap dan gunung yang sering kami lihat di internet-internet. Bagaimanapun
keadaanya, kami harus menuju sumber asap itu.
Dan pada akhirnya,akhirnya akhirnya dan akhirnya sampai tak berujung akhirnya, setelah lama melakukan perjalanan, muncul lampu-lampu kecil. Alhamdulillah ada sedikit cahaya. Menemukan cahaya itu seperti menemukan hidayah. “Habis gelap terbitlah terang,” begitulah analoginya. Kami semakin semangat menancap gas kekuatan kami. Tujaun kami semakin dekat. Sebentar lagi kita akan melihat keindahan alamNya.
The Fifth Experience
Semakin
lama, jalan yang kami tempuh semakin berat. Jalanan semakin naik. Sementara
sebentar lagi akan ada panggilan Tuhan untuk menenuaikan kewajibanNya. Tak lama
setelah itu terdengar sayup-sayup adzan. Seketika dan gak tau ada dimanakah
itu, kami segera menunaikan sholat shubuh berjama’ah. Karena tidak ada air, kami
bertayamum menggunakan pasir. Seketika kami sholat di atas pasir tepi jalan
target misi kami. Begitulah enaknya kalau bepergian dengan teman-teman se-iman.
Dimanapun dan bagaimanpun keadaannya, jika tiba waktu sholat, akan segera menunaikannya.
Kecil,
sangat kecil. Merasa diri ini sangat kecil di tengah hamparan pasir yang begitu
luas, dan di bawah kaki pendakian. Sujud menengadah dan berdo’a waktu shubuh
mengingatkan kita bahwa kita bukanlah apa-apa. Kita hanyalah bagain terkecil
dari ciptaaNya. Bagian terkecil bahkan sangat kecil bagai debu di jagat raya
ini.
Sholat shubuh menambah kekuatan kami untuk melajutkan perjalanan. Hari sudah mulai pagi, mataharisudah mulai terbangun. Pemandangan dan keindahan terus menghiasi pagi itu. Ya seperti biasa, cahaya kamrea juga ikut bersaing dengan cahaya matahari untuk menngkap keindahan fenomena alam. Puncak. Dan yey, sebentar lagi kita akan sampai puncak dan sumber asap petunjuk arah kami. Yap hanya membutuhkan bebrapa langkah lagi. Kami akan sampai puncak Gunung Bromo.
0 comments:
Posting Komentar