Kelompok Insan Religi, Sosial, dan Akademisi


Mahasiswa adalah panggilan untuk orang yang sedang menjalani pendidikan tinggi di sebuah universitas atau perguruan tinggi (www.wikipedia.org).  Meraka penuh dengan ideologi atau prinsip-prinsip yang kadang membawa mereka pada jalan gelap ataupun jalan-jalan terang. Kata-kata ideologi yang terus di gaungkan olehnya seakan sudah menjadi harga mati dalam menemani setiap langkah dalam menapaki masa depannya. Tak seorang pun berani menggoyahkan prinsip dan ideologinya, meskipun itu adalah orang tua mereka. Sehingga kadang mereka bertingkah laku aneh , menyesatkan, menimbulkan banyak tanda tanya pada setiap orang yang melihatnya. 

Apakah semua Prinsip itu membawa kebaikan? sebagai mahasiswa sendiri, penulis merasa keheranan pada teman-teman yang tetap memegang ideologi ataupun prinsip yang sudah jelas telah menyesatkan mereka. Dan menganggap aneh suatu prinsip dan ideologi seseorang yang benar adalah suatu yang aneh dan menyeramkan. Bahkan tak jarang mengklaim itu menyesatkan.

Dengan identits khusus mahasiswa yaitu sebagai insan religius, insan akademisi, insan sosial, dan insan mandiri maka mereka harus bertanggung jawab terhadap tanggung jawabnya masing-masing baik sebagai makhluk Tuhan  dan makhluk sosial sebagai warga Negara. Artinya tugas mahasiswa tidak hanya belajar saja, tetapi lebih berkewajiban menyikapi realita atau permasalahan kampus maupun permasalahan masyarakat luas (Jurnal Lorong LKP2M, 2006). Sehingga muncullah istilah Sebagai agent of change, agent of sosial control untuk mengarahkan kehidupan masyarakt menjadi lebih baik. Hal ini bisa dibuktikan dari aksi meraka pada waktu menggulingkan Presiden Sukarno tahun 1965, peristiwa Malari 15 Januari 1974, juga pada bulan Mei 1998, ribuan mahasiswa berhasil memaksa Presiden Soeharto untuk mundur dari jabatannya. 

Adanya tanggung jawab yang besar pada diri sendiri dan sosial masyarakat akan mampu membentuk ideologi dan prinsip positif pada diri Agent of Change ini. Dengan begitu tidak menjadi yang diarahkan oleh masyarakat atau suatu golangan kemudian menjadi tidak terarah arah dan tujuan hidupnya. Manusia yang sudah menginjak remaja menuju dewasa (17-25 tahun) tentunya sudah bisa menggunakan akal dan fikiran untuk bisa membedakan mana yang baik dan buruk. Tapi mengapa manusia di umur tersebut rentan terhadap kerusakan moral? Bahkan kadang bangsa diresahkan oleh perilaku manusia masa-masa seperti  ini, yang kadang-kadang sangat tidak mengindahkan peraturan agama dan lingkungan. Apakah mereka tidak bisa membedakan antara baik dan buruk? Kalau dikatakan tidak bisa membedakan itu sangat mustahil sekali karena otak mereka sudah bisa dimaksimalkan dengan baik. Karena pada masa umur menginjak remaja menuju dewasa fungsi kerja otak mampu untuk merespon dan menganalisis suatu yang baru. Tak jarang kalau akhir-akhir ini banyak sekali kejahatan Brain Wash  kepada para remaja dan dewasa yang memanfaatkan fungsi kerja otak mereka.

Menjadi mahaiswa bisa dikatakan mulai segala sesuatunya dari  nol. Apa yang dilakukan sekarang merupakan gambaran seperti apakah kemudian hari. Apapun diri mereka di masa lalu, masa ini adalah  gerbang awal pencarian jati diri untuk menemukan siapakah dirinya tersebut. Tergantung bagaimanakah mereka memilih jalannya masing-masing sesuai dengan criterianya sendiri. Karena itu semua tidak terlepas dari motivasi. Motivasi mendorong kemauan untuk melakukan sesuatu, bahkan untuk menentukan prinsip atupun ideologi mereka. Semua itu terbentuk  karena mereka ingin mencari kebutuhan. Entah itu kebutuhan spiritual, kesenangan, dan kebahagian lahir dan batin. Dengan adanya kebutuhan maka akan muncul motivasi untuk melakukan perbuatan tersebut. 

Motivasi menurut hofstede adalah tinggi rendahnya dorongan dan kekuatan yang mengarahkan manusia berperilaku. Sedangkan menurut Steers dkk adalah kemauan untuk berbuat sesuatu. Motivasi berasal dari bahasa latin movere yang berarti to move (berpindah, bergerak). Tiga karakteristik utama motivasi yaitu :
ü  Apa yang menggerakkan perilaku
ü  Apa yang mengarahkan perilaku
ü  Bagaimana perilaku itu dipertahankan atau dipelihara. 

Dari pengertian motivasi tersebut dapat kita lihat bahwa motivasi dapat menggerakkan perilaku seseorang pada suatu kebutuhan. Dari sini kita dapat mengaitkan bahwa motivasi, kebutuhan dan prinsip menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Dengan adanya motivasi maka dapat menggerakkan kebutuhan kemudian dari kebutuhan dapat menggerakan prinsip seseorang untuk menetapkan perilaku hingga kebutuhannya tercapai. Dalam kajian perilaku manusia ini dapat kita ambil kesimpulan bahwa setiap perilaku manusia berasal dari motivasi di dalamnya. Mahasiswa yang mempertahankan perilakunya karena adanya prinsip dalam dirinya karena terdorong oleh motivasi tersebut. Karena motivasi sangat mempengaruhi pembelajaran hidup diantaranya adalah membangkitkan energi, mengarahkan seseorang pada tujuan-tujuan tertentu, mendorong orang untuk memulai kegiatan serta bertahan melakukan aktivitas tersebut. Motivasi dapat menimbulkan minat seseorang terhadap sesuatu, mempelajarinya secara lebih bermakna, dan mempraktikkannya

 Output dari motivasi tidak semuanya baik. Jika saat ini kita mengambil contoh dari perilaku mahasiswa yang mempertahankan apa yang dia yakini, dan apa yang menurut mereka enjoy. Motivasi terbentuk juga dari hati, sedangkan hati berfugsi sesuai dengan bagaimana kita menggunakannya. Apabila kita sebagai manusia manggunakan hati ini untuk suatu kebaikan akan berdampak pada motivasi tersebut yang akan menggerakkan kebutuhan kemudian perilaku kita. 

Mahasiswa yang mempunyai prinsip negatife  terkadang terdorong dari hati mereka yang kurang sehat, karena hati terbagi menjadi 3 yaitu hati yang sehat, hati yang mati dan hati yang sakit. Sangat beruntng sekali jika seseorang mempunyai hati yang sehat. Seperti kutipan lagu Snada  “jika hati kian bersih pikiranpun akan jernih, semngat hidup yang tinggi prestasi mudah diraih” bisa kita lihat rasakan sendiri bahwa  begitu sempurnanya dampak dari hati yang bersih. Tapi sebaliknya keadaan hati mati adalah keadaan yang susah mendapatkan motivasi-motivasi yang baik dan petuah-petuah yang baik. Seakan-akan motivasi dan petuah tersebut terpantul dan tidak mendarah daging dan . Maka seperti inilah akan terbentuk perilaku-perilaku negatife. Bisa dikatakan bahwa hati anak muda masih dalam keadaan labil dan kurang terpelihara maka hati tersebut akan berdampak juga dengan kerja otak dan kepribadian yang memperthankan nilai-nilai negatife yang dianggap suatu harga mati pada prinsip hidup yang tidak bisa diubah. Kemudian hati sakit adalah hati yang terkadang mempengaruhi manusia untuk berbuat baik dan kadang pula berbuat buruk. Sehingga perlu dilakukan  perawatan internal agar hati terus terjaga dalam keadaan sehat. Para pemuda yang memiliki hati yang sehat akan berdampak pada setiap perbuatan mereka. Jika hati sehat maka setiap perilaku mereka pun akan termotivasi untuk malakukan perbuatan yang bermanfaat. 

Istilah “Subbanul Yaum, Rijalul Ghod” yang mempunyai arti pemuda sekarang adalah pemimpin dimasa yang akan datang. Tidak bisa dipungkiri bahwa mahasiswa yang menjadi peran tersendiri dalam masyarkat adalah penentu maju mundurnya bangsa di masa yang akan datang. Kiprahnya selalu ditunggu oleh masyarakat karena mahasiswa adalah  tonggak  pemimpin masa depan yang sangat bergantung dari character building mahsiswa sekarang. 

Untuk mempunyai prinsip dan ideology yang baik  tanpa salah arah atau tidak menjadi orang yang selalu di arahkan, kita mulai dengan penataan hati. Jangan sampai hati kita seperti ladang yang kering dan tandus. Hati ibarat ikan dalam air. Jika ikan itu dikeluarkan dari air, bisa kita lihat bahwa ikan tersebut akan menggeliat dan mati. Dari hati yang bersih maka akan termotivasi untuk melakukan tindakan yang bersih pula. Dengan begitu akan terbentuk mindset atau pola pikir yang bersih untuk suatu prinsip yang positif dan bijaksana. 

Referensi:
Steers, Richard M, Yamin, Magdalena. 1985. Efektivitas Organisasi, Jakarta :
Erlangga
Hofstede
Achmad Dini Hidayatullah, “Persepsi Mahasiswa Ekstra Terhadap Politik Praktis”, Lorong Journal of culture studies, vol.1, no-2, pp 83-101
                                                                             

0 comments:

Posting Komentar