Bias Gender di Lingkungan Pesantren

Gender masih dipahami sebagai kesamaan hak, peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang mengarah pada pemahaman bahwa menurut mereka, bagaimana laki-laki dan perempuan akan diberi peran yang sama persis yang kemudian menimbulkan resistensi di kalangan masyaratkat. Dengan kata lain konsep kesetaraan gender secara universal tidak bertentangan dengan islam, tetapi problem yang muncul adalah bisakah kesetaraan gender masuk masyarakat pesantren dengan model penerapannya seperti masyarakat diluar pesantren?

Kodrat Tuhan yang menciptakan laki-laki dan perempuan sebagai kholifah dibumi memang telah terbukti. Ketika manusia diciptakan sudah terlihat aura kekhlifahannya dan kecerdasaanya. Penciptaan hawa dari tulang rusuk adam memilik tujuan tersendiri. Tidak lain adalah untuk menyembah Allah dan saling melengkapi satu sama lain. Tapi yang menjadi probelmatika di kancah dunia kita adalah adanya perlakuan terhadap keadilan gender. Mayoritas masyarakat berasumsi bahwa, adanya kesetaraan gender dapat menegasikan kodrat laki-laki dan perempuan.

Journey kehidupan memang terus bersikulasi dalam membentuk karakter manusia sesuai kodrat kelaminnya. Maka tak ayal lagi pemberian tanggung jawab, hak, dan peran dewasa ini dalam masyarakat harus dibedakan menurut kodrat gendernya masing-masing. Sehingga menyisakan satu problem mendasar yaitu terkait dengan isu kesetaraan dan gender.

Inilah yang terjadi dalam kehidupan kita terutama dalam lingkungan pesantren. Pondok pesantren merupakan suatu lembaga dakwah yang memiliki peran kokoh dalam mensiarkan dan mengislamisasikan negaranya yang mempunyai ciri-ciri dan karekteristik yang khas. Meski demikian besarnya kontribusi pesantren dalam pengembangan ajaran islam menyisakan kesenjangan akses, partisipasi, peran, dan tanggung jawab yang dimiliki santri putra maupun putrid, baik aspek pengambilan kebijakan, system menegerial , pembelajaran, bahan ajar, dan pemanfaatan yang tersedia. 

Akibtanya, output santri putra memiliki potensi lebih besar untuk memainkan peran public ditengah-tengah masyarakat. Kesenjangan tersebut juga berdampak pada kelangkaan ulama’ perempuan yang kontribusinya justru sangat dibutuhkan. Sehingga apakah kontruksi social pengarusutamaan gender dapat diimplementasikan di pondok pesantren?

Buku ini menjelaskan tentang kajian gender dan islam melalui pondok pesantren. Dalam hal ini penulis menggunakan Ma’had Salafiyah Syafi’iyah sebagai subyek penelitian. Karena dianggap institusi pondok pesantren ini memilik potensi cukup baik dalam pengembangan wacana kajian gender yang umumnya tidak diminati oleh kebanyakan pesantren. 

Penerapan gender dalam lingkungaan pesantren telah dilakuakn sejak tahun 1996. Akan tetapi hal ini hanyalah letupan belaka. Karena disebabkan oleh beberapa argument teologis bias gender yang masih mewarnai lingkungan pesantren dan khawatir akan ideologi gender yang berkembang di barat yang dianggap bertentangan dengan nilai-nilai islam dan tradisi pesantren, sehingga konsep ini sulit untuk diterapkan dalam pesantren.

Ditinjau dari sudut pemaknaan gender, buku Gender di Pesantren Salaf ini mengandung empat makna yaitu gender sebagai fenomen sosial, gender sebagai masalah social, gender sebagai kesadaran social, dan gender sebagai istilah. Kemudian pemahaman santri tentang gender dikaitkan dengan teori sehingga dapat didiskripsikan pertama, santri dan warga pesantren tidak lagi mempermasalahkan gender. Kedua, santri dapat membedakan jenis kelamin memunculkannya dalam sifat, peran, nilai dan posisi social. Ketiga, santri Ma’had Aly memaknai gender sebagai masalah social yang melahirka masalah diskriminasi gender. Keempat, kaitannya dengan maslah social santri Ma’had Aly memiliki mempnyai kesadran bahwa diskriminasi tersebut harus diminalisir melalui ruang budayayang telah ada. Kelima, para santri menggunakan gender sebagai lat analisis sosial.

Santri ma’had Aly memiliki kesamaan dalam konsep kesetaraan dan keadilan gender. Kesetaraan gender difahami sebagai kesamaan hak-hak dasar, posisi dan tanggung jawab yang sama serta sama-sama memiliki akses, partispasi dan manfaat. Keadilan gender dipahami sebagai pemberian peran dan tanggung jawab sesuai dengan kebutuhan, bisa dalam bentuk berbeda tetapi memiliki nilai yang sama. Keragaman makna tersebut dalam intersubjektifnya disadarai dikalangan para santri memiliki dasar argumentasi yang berbeda-beda..
Buku karya ini merupakan hasil penelitian dari dosen fakultas syariah UIN Maliki Malang dan Pembina Mata Kuliah Gender dan Agama pada prodi Kajian Wanita PPs Universitas Brawijaya Malang. Sehingga ketika kita mengkaji buku ini, para pembaca dapat memperluas pikiran mereka tentang pemahan isu-isu gender dalam masyarakat terutama dalam lingkungan pesantren. Sehingga para pembaca tidak lagi memiliki pola piker klasik tentang isu-isu gender sehingga bisa di implementasikan pada masyarakat ataupun dalam pesantren.
Unutuk lebih memberikan kenyaman kepada pembaca dan membantunya dalam memberikan pemahan tentang gender, penulis melakukan penelitian pada Ma’had Al-Aly PP. Salfiyah Syafi,iyah Sukorejo, Sitobonda, Jawa Timur. Kemudian memilih metode kualitatif agar menjadi tujuan penelitian yaitu mendiskripsikan kontruksi pemikiran tentang kesetaraan dan keadilan gender di pondok pesantren tersebut. Kemudian pemilihan pendekatan fenomenologi agar mencapai tujuan yang filosofis yaitu memahamai makna, nilai, persepsi, dan pertimbangan
Faktanya, pengarusutamakan Gender dikalangan elit santri yang selama ini sulit diterima karena adanya argumentasi warga pesantren dan adanya ideologi gender yang berkembang di barat dan bertentangan dengan nilai-nilai islam ternyata dapat di implemantasikan pada Ma’had Aly. Hal ini semoga memberikan wacana baru pada masyarakat kususnya lingkungan pesantern yang kolot dengan pemikiran keadilan dan kesetaraan gender sehinga output antara laki-laki dan perempuan dapat memiliki kemampuan yang seimbang.

0 comments:

Posting Komentar